‘Pemerintah dan pemimpin militer Belanda telah dengan sengaja melakukan pembiaran atas penggunaan kekerasan ekstrem yang dilancarkan secara sistematis dan meluas oleh personel militer Belanda selama Perang Kemerdekaan Indonesia.’

Pada 17 Februari 2022, kami akan menyiarkan hasil akhir penelitian. Simpulan-simpulan utamanya dan informasi lebih jauh dapat dibaca di sini.

Video presentasi

Youtube 1

Youtube 2

Youtube 3

Pemicu

Pada tahun 1969, veteran perang Belanda Joop Hueting dalam sebuah wawancara televisi mengaku bahwa ia dan beberapa orang serdadu Belanda lainnya telah melakukan kejahatan perang selama bertugas di Indonesia. Menyikapi pengakuan tersebut, Pemerintah Belanda langsung mengadakan penelitian arsip secara singkat dan menyimpulkan bahwa memang benar telah terjadi pelanggaran-pelanggaran yang disebut dengan ‘ekses’, akan tetapi ‘secara umum militer Belanda telah bertindak sesuai aturan semasa ditugaskan di Indonesia.’ Semenjak itu, simpulan tersebut menjadi pandangan resmi pemerintah Belanda dan tak pernah sekalipun diubah.

Namun, dalam beberapa tahun terakhir ini, muncul kecenderungan baru yang dipicu oleh beragam tuntutan hukum, laporan jurnalistik, dan penelitian kesejarahan yang semakin menguatkan pendapat bahwa serdadu Belanda betul-betul menggunakan kekerasan secara berlebihan dalam skala yang amat besar. Kecenderungan baru ini akhirnya menggoyahkan pendapat resmi yang selama ini dipegang teguh Belanda. Kelompok masyarakat dan para akademisi lalu mendorong dilakukannya penyelidikan lebih jauh atas ulah militer Belanda selama Perang Kemerdekaan Indonesia. Di awal tahun 2017, Pemerintah Belanda memutuskan untuk menghibahkan dana sebesar 4,1 juta euro kepada tiga lembaga penelitian, yakni KITLV, NIMH, dan NIOD untuk mengadakan penelitian berkenaan dengan isu yang disebut di atas.

Program Penelitian

Program penelitian ini memusatkan perhatian pada penggunaan kekerasan ekstrem militer Belanda selama Perang Kemerdekaan Indonesia, berikut dampak  yang ditimbulkannya, serta pada persoalan sejauh mana akuntabilitas legal dan politik melekat pada kekerasan ekstrem kala itu dan tahun-tahun setelahnya. Semua ini dilihat dari konteks internasional, politik, dan sejarah yang lebih luas.

Terlibat dalam program penelitian ini adalah lebih dari dua puluh lima orang peneliti yang bekerja sama dengan peneliti luar negeri dalam dua proyek peneltian internasional: proyek pertama dilakukan bersama-sama dengan Universitas Gadjah Mada yang melibatkan dua belas peneliti dari Indonesia, proyek kedua dilakukan di tahun 2019 bersama NIAS beserta enam pakar internasional yang tergabung di dalamnya. Program ini juga didukung oleh Komite Penasihat Ilmiah dan Kelompok Pemerhati Sosial.

Di penghujung program, sebanyak empat belas buku akan diterbitkan, termasuk sebuah ikhtisar yang berjudul Over de grens: Nederlands extreem geweld in de Indonesische onafhankelijkheidsoorlog, 1945-1949 yang juga akan diterjemahkan ke dalam dua bahasa, yakni Indonesia dan Inggris.

Simpulan

Program penelitian ini menyanggah pandangan resmi yang dipegang teguh pemerintah sejak tahun 1969. Meskipun jumlah angka kejahatan perang dan korban yang diakibatkannya tidak dapat diketahui secara akurat, akan tetapi, dari beberapa sumber penelitian, dapat dipastikan bahwa kekerasan ekstrem militer Belanda dilakukan secara meluas dan penuh dengan kesengajaan. Kekerasan tersebut pun mendapat pembiaran baik dari segi hukum, militer, dan yudisial. Dalih pembiaran tersebut adalah niat dan upaya pemerintah Belanda lewat pelbagai cara untuk mengalahkankan Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Dalam upayanya tersebut, Pemerintah Belanda secara sengaja tidak mengindahkan batasan-batasan etis yang kala itu berlaku.

Lalu, Belanda memerangkap diri dalam sebuah perang yang takkan mungkin dimenangkannya dan ketika semakin hilang asa, Belanda menjadi semakin beringas. Di sisi lain, pihak Indonesia melawan lewat peperangan gerilya. Kedua pihak akhirnya akrab dengan kekerasan ekstrem. Kekerasan ekstrem dari pihak Indonesia di awal periode Revolusi Nasional, yang di Belanda dikenal dengan sebutan Bersiap, menyasar di antaranya orang keturunan Belanda dan Maluku dan berkelindan dalam dinamika kekerasan pada waktu itu. Namun, kekerasan dari pihak Indonesia tersebut bukanlah alasan sesungguhnya di balik upaya militer Belanda untuk menduduki kembali Indonesia.

Selama perang berlangsung, militer Belanda tak henti melakukan kekerasan ekstrem secara struktural, mulai dari eksekusi ekstrayudisial, penyerangan dan penyiksaan, penahanan dalam kondisi yang tak manusiawi, pembakaran rumah dan kampung-kampung, penjarahan dan perusakan barang berharga dan makanan milik penduduk, serangan-serangan udara dan pengeboman yang terus menerus, serta penangkapan secara acak dan massal dan pemenjaraan.

Benar bahwa angkatan bersenjata Belanda adalah lembaga yang secara langsung melancarkan pelbagai jenis kekerasan, terutama kekerasan ekstrem. Akan tetapi, tindakan mereka tersebut bukan tanpa konsultasi dan persetujuan dari Pemerintah Belanda. Para politisi Belanda beserta para pendukungnya sama sekali tidak hirau akan kekerasan ekstrem militer Belanda di Indonesia dan bahkan menolak untuk turut bertanggung jawab. Sikap para politisi tersebut dimungkinkan karena adanya dukungan penuh dari sebagian besar masyarakat Belanda atas peperangan yang mereka lancarkan di Indonesia. Selain itu, tidak banyak tentangan kritis terhadap mereka, termasuk dari media. Syahdan, jarak geografis, dan juga mental, turut menguatkan keadaan. Terang sudah bahwa mereka menerapkan standar yang jelas-jelas berbeda terhadap koloni dan ‘subjek-subjek’ kolonialnya.

Penelitian ini juga menemukan bahwa sebagian besar pihak yang bertanggung jawab di Belanda, yakni para politisi, perwira militer, pegawai pemerintah, hakim pengadilan, dan pihak terkait lainnya, sesungguhnya tahu akan kekerasan ekstrem tersebut, namun secara bersama-sama bersepakat untuk memaklumi, memberi pembenaran, menutup-nutupi, atau bahkan melakukan pembiaran. Hampir di semua tingkatan ditemukan indikasi adanya pengesampingan yang disengaja atas aturan-aturan yang berlaku dan juga atas rasa keadilan.

Nafi dan pengingkaran Belanda atas dukungan luas rakyat Indonesia terhadap kemerdekaannya berakar pada mentalitas kolonial. Para politisi, serdadu, dan pegawai pemerintah Belanda baik di Indonesia dan di negeri Belanda merasa angkuh akan superioritas mereka. Dalam upaya Belanda untuk mengejar kendali atas Indonesia, Belanda sesungguhnya terdorong oleh motif ekonomi dan geopolitik, serta oleh perasaan bahwa keberadaan mereka di ‘Timur’ amatlah diperlukan. Sikap semacam ini akhirnya menggiring mereka kepada kekeliruan dalam menilai dan mempertimbangkan, baik dari segi militer atau politik. Sebagai akibatnya, Belanda pun menjadi diasingkan di panggung internasional.

Penyerahan kedaulatan secara resmi yang dilakukan pada tanggal 27 Desember 1949 sejatinya terdorong oleh tekanan internasional yang teramat kuat dan kesadaran diri bahwa perang di Indonesia tak mungkin lagi dimenangkan. Akan tetapi, selepas itu, Den Haag tetap berupaya keras agar perang di Indonesia dan pertanyaan-pertanyaan tentang kekerasan ekstrem yang dilakukan militer Belanda tidak bergerak liar di arena politik. Hal ini guna menutupi kegagalan mereka sekaligus menyelamatkan reputasi para veteran Indis, keturunan Belanda, dan Maluku. Den Haag pun diuntungkan oleh sikap Indonesia yang tidak bersikeras melakukan penelitian atas hal tersebut. Namun, kini terjadi perubahan. Perlu waktu yang cukup lama sampai akhirnya terbuka sebuah ruang di masyarakat Belanda untuk menengok kembali secara kritis apa yang telah dilakukan Belanda di Indonesia pada periode tersebut, yang betul-betul bertolak belakang dengan citra baik yang selama ini dilekatkan pada bangsa Belanda.

Ikhtisar Hasil Penelitian

Anda dapat membaca ringkasan hasil penelitian di sini. Ikhtisar yang lebih rinci dapat dibaca pada buku Melewati Batas: Kekerasan Ekstrem selama Perang Kemerdekaan Indonesia.

Buku

Amsterdam University Press akan mulai menerbitkan kedua belas buku hasil penelitian ini mulai 17 Februari 2022 dalam bentuk cetak dan e-book yang dapat diunduh secara gratis lewat fasilitas open access. Informasi tentang publikasi ini dapat dibaca di sini.