Sejauh mana petaka Corona berdampak kepada para peneliti terlebih karena kini kantor arsip tutup, segala seminar dan konferensi di Belanda dan luar negeri dibatalkan? Pada blog berikut, Azarja Harmanny menggambarkan dampak masa bersejarah ini kepada kerja penelitiannya.

Menulis di Masa Bersejarah

Azarja Harmanny

Akhir Februari lalu aku berada di Indonesia atas undangan dari yayasan keluarga veteran untuk berbagi cerita dalam saresehan yang mereka gagas. Di sana, aku merasa tak ada jarak antara satu dengan yang lain; kami riang dan bebas berjabatan tangan dengan siapapun. Kala itu wabah Corona masih belum hinggap di Indonesia (meskipun sebagian menyangsikan), sementara Belanda sudah mulai terjangkiti. Baru ketika dalam perjalanan pulang ke Belanda dan singgah di Singapura, aku merasakan semacam keresahan. Setiap orang mesti mengenakan masker, dan petugas kesehatan berjaga-jaga di setiap pojokan. Saat itu, Raja Belanda baru bersiap-siap untuk melakukan kunjungan kenegaraan ke Indonesia.

Keresahan itu tak kunjung hilang setibanya saya di Belanda. Belakangan baru terang benderang mengapa resah itu tetap hinggap: rupanya rekan yang juga penerjemahku selama di Indonesia tertulari virus itu. Memang kini dia tak lagi bergantung kepada ventilator, tapi virus itu betul-betul sudah menggerogoti kesehatannya. Cerita-cerita yang disampaikannya padaku lewat videocall membuatku merinding. Untung saja, di setiap videocall (yang sebetulnya dilakukan secara sembunyi-sembunyi agar tak ketahuan juru rawat) dia masih bisa tertawa lepas. Konon, di masyarakat Jawa keadaan betul-betul buruk kala seorang Jawa tak lagi bisa tertawa.

Kemalangan temanku itu betul-betul menyadarkanku. Memang benar bahwa petaka Corona telah menghambat berjalannya pekerjaan penelitian kelompok sekaligus penelitianku sendiri. Kantor Arsip Nasional, habitat alami para sejarawan, terpaksa tutup. Beragam lokakarya, seminar, dan kegiatan-kegiatan penelitian lainnya harus dibatalkan. Di rumah pun aku hanya bisa bekerja sejenak saja di rumah karena istri harus bekerja, dan aku harus menjaga dua anak kami yang masih kecil-kecil. Bila keadaan ini berlanjut, sudah barang tentu aku akan lewati tenggat.

Akan tetapi, aku juga merasa bersyukur. Sampai saat ini, keluarga dalam keadaan baik-baik saja. Aku bisa luangkan lebih banyak waktu bersama anak-anakku, dan melihat langkah-langkah kecil anak bungsuku (aku melewatkan langkah pertamanya karena saat itu aku baru saja tiba di Indonesia). Dan aku bukanlah satu-satunya yang harus bekerja dalam keadaan sulit. Shakespeare juga dikisahkan menuntaskan beberapa karya besarnya kala ia berada dalam karantina karena wabah penyakit. Lalu, sejarawan Fernand Braudel juga menamatkan mahakaryanya La Méditerranée et le Monde Méditerranéen à l'époque de Philippe II ketika ia ditawan oleh tentara Jerman selama Perang Dunia Kedua.

Perdana Menteri Rutte dan Kanselir Jerman Merkel sering menyitir situasi perang itu beberapa waktu terakhir ini. Sebetulnya sejauh mana situasi kini benar-benar sebanding dengan masa perang? Tentu saja banyak perbedaan, akan tetapi segala kekacauan dan ketidakpastian yang kini terjadi jelas mengingatkan kita akan perang. Tak ada yang tahu berapa lama ini akan berlangsung. Dan siapa saja bisa menjadi korban. Dari pengalaman ini, aku juga melihat kontras yang paralel antara mereka yang terdampak dan mereka yang tidak. Kemarin, ada satu kalimat yang kubaca dalam sebuah salinan buku harian seorang bekas prajurit. Dia menyebut:

Yang paling mencolok adalah kenyataan bahwa situasi damai yang kita diami ini sesungguhnya berdampingan dengan keadaan kacau di tempat lain dimana orang mempertaruhkan nyawa untuk bertahan hidup.

Bisa jadi kutipan itu tercatat rapi di halaman pertama buku harianku atau buku harianmu untuk menggambarkan situasi kini. Dan ini membantuku memahami lebih baik pengalaman orang yang hidup di masa perang.

Takarir Foto, di bawah laman ini:

Foto diambil sebelum seminar Peran Akademi Militer Indonesia dalam Perang Gerilya di Wilayah Yogyakarta tanggal 21 Februari. Selain Azarja Harmanny (keempat dari kanan), seminar tersebut dihadiri oleh Martijn Eickhoff (Ketiga dari kiri) dan Tico Onderwater (Ketiga dari kanan). Duduk di tengah adalah Letnan Jenderal (Purn.) Sayidiman Suryohadiprodjo (92), pejuang kemerdekaan melawan Bealnda dari Divisi Siliwangi.

Indonesië dekolonisatie onderzoek
Foto bersama di Keraton Yogyakarta seusai Seminar ‘Peran Akademi Militer Indonesia dalam Perang Gerilya di Wilayah Yogyakarta’ tanggal 22 Februari.