Memori hadir dalam beragam jenis dan ukuran. Begitu pula dengan ingatan tentang Hindia Belanda – kini Indonesia. Ingatan-ingatan itu dipoles tidak hanya dengan warna terang, dan cerah. Elsbeth Locher-Scholten – mantan dosen di Universitas Utrecht dan pakar sejarah kolonialisme dan dekolonisasi – menulis sebuah kolom tentang kekerasan kolonial dan ingatan kolonial untuk proyek penelitian Saksi dan Rekan Sezaman, bagian dari tulisannya merujuk kepada perbincangan tentang buku yang ditulis oleh Kester Freriks, Tempo Doeloe, een omhelzing (Tempo Doeloe, sebuah pelukan).

 

Elsbeth Locher-Scholten

Memori hadir dalam beragam jenis dan ukuran. Begitu pula dengan ingatan tentang Hindia Belanda – kini Indonesia. Ingatan-ingatan itu dipoles tidak hanya dengan warna terang, dan cerah. Elsbeth Locher-Scholten – mantan dosen di Universitas Utrecht dan pakar sejarah kolonialisme dan dekolonisasi – menulis sebuah kolom tentang kekerasan kolonial dan ingatan kolonial untuk proyek penelitian Saksi dan Rekan Sezaman, bagian dari tulisannya merujuk kepada perbincangan tentang buku yang ditulis oleh Kester Freriks, Tempo Doeloe, een omhelzing (Tempo Doeloe, sebuah pelukan).

Memori hadir dalam beragam jenis dan ukuran. Begitu pula dengan ingatan akan Indonesia pada masa-masa kolonial. Memori tersebut tidak dipoles hanya dengan warna-warna terang dan cerah. Louis Couperus menggambarkan hal ini dalam novelnya Van oude menschen, de dingen, die voorbijgaan… (Tentang orang-orang tua, dan semua yang telah berlalu) (1904) yang kebetulan baru selesai saya baca kembali. Novel ini menceritakan tentang seorang perempuan yang kini berusia 97 tahun dan tinggal di Den Haag yang terbebani dengan ingatan akan pembunuhan yang dilakukannya di Jawa enam puluh tahun sebelumnya. Kekasih gelapnya membunuh si suami dengan sebuah keris di Tegal. Kekerasan yang pernah terjadi di tanah jajahan mewujud sebagai sebuah rahasia keluarga, dan berdampak sampai tiga turunan.

Memori hadir dalam aneka ragam dan memiliki banyak cabang yang panjang. Keragaman dan cabang itu merupakan bagian dari identitas perseorangan dan seringkali menimbulkan perdebatan. Tidak ada perdebatan yang paling benderang kecuali perdebatan antara adik dan kakak tentang segala kejadian yang pernah terjadi di rumah. Banyak sekali contoh yang menunjukkan perselisihan keluarga dalam keluarga Jerman antara anak dan orang tuanya tentang ingatan mereka akan Perang Dunia Kedua. Begitu pula dengan perdebatan antara anggota keluarga tentang ingatan pada masa-masa kolonial di Hindia Belanda.

Buku yang ditulis Kester Freriks, Tempo doeloe, een omhelzing (2018), memberi kejutan karena ia menggugah kembali ingatan manis dan kekaguman akan Hindia Belanda. Anak-anak yang lahir di tahun 30an (Kester Freriks lahir di tahun 50an) memang kerap bernostalgia dengan hangatnya mentari, ketenteraman, dan kebebasan yang dimiliki di Hindia Belanda, juga dengan kebun, pegunungan, hubungan baik dengan para pembantu rumah, dan baju putih yang kerap mereka kenakan di surga tropis. Ingatan mereka dijejali dengan film-film keluarga yang populer pada waktu itu; yang jelas-jelas bertolak belakang dengan ingatan akan kengerian kamp-kamp tahanan Jepang dan Perang Kemerdekaan Indonesia sesudahnya.

Ingatan kanak-kanak tentang peristiwa (politik) seringkali menyajikan paparan yang berbeda saat mereka beranjak dewasa. Ingatan kanak-kanak seringkali cerah, termasuk ingatan tentang orang tua mereka. Baru kemudian, di masa-masa berikutnya, kenangan akan tokoh-tokoh yang mereka kagumi perlahan berubah, dan mulai diberi warna yang lebih beragam. Ini merupakan bagian dari tumbuh dewasa. Ketika beranjak dewasa, ingatan akan Hindia Belanda menjadi semakin kaya dan lebih tajam, termasuk ingatan tentang kekerasan kolonial. Begitu pula ingatan tentang ayah-ayah mereka yang semula mereka banggakan. Ada ruang yang begitu lapang yang kini diisi oleh ingatan kelam akan kekerasan yang pernah mereka lakukan. Kester Freriks rupanya terdampak oleh hal ini; dia menyebut bahwa hal ini merusak dan mencerabut ingatan-ingatan tentang masa kecil yang tadinya penuh dengan keceriaan. Pencerabutan ingatan: nyatakah ini? Ataukah mungkin ini hanya persoalan tentang ingatan mana yang paling benar?

Selain tentang mentari yang cerah (yang sesungguhnya dalam film tahun tiga puluhan tidak begitu tampak), ingatan manis tentang Hindia Belanda lalu menjadi lekat dengan senapan bren, mortir dan meriam Howitzer; di samping ingatan tentang pesta keluarga yang meriah, gambaran tentang patroli tentara Belanda dan KNIL juga kini turut menemani. Pergeseran dalam ingatan semacam ini tidak hanya datang dari kalangan akademis, seperti yang telah ditulis oleh sejarawan Rémy Limpach dengan bukunya De brandende kampongs van Generaal Spoor (2016) dan penelitian tentang kekerasan dalam Perang Kemerdekaan Indonesia (1945-1949), yang dimulai pada tahun 2017.

Para penulis keturunan Indonesia, seperti Alfred Birney dengan novelnya De tolk van Java (Penerjemah Jawa) (2016) dan Reggie Baay, yang menerbitkan Het kind met de Japanse ogen (Anak Bermata Sipit) (2018), dua pengarang yang mengisahkan tentang ayah-ayah mereka, serdadu KNIL pada pada tahun-tahun 1945-1949, turut mengambil peran.  Mereka berkisah tentang trauma yang diakibatkan oleh pengasuhan yang penuh dengan kekerasan (Birney) dan kekerasan yang dialami oleh pekerja paksa di lintasan kereta Burma (Baay); kedua perisitiwa itu ternyata mereka ketahui berkaitan dengan kekerasan militer yang terjadi di dunia luar, dan berdampak nyata terhadap generasi berikutnya. Kedua buku ini, dengan segala persamaan dan perbedaannya, menyajikan keberanian dan kejujuran mereka, dan merupakan sebuah sebuah paparan yang baru dan mengesankan tentang ingatan kolonial.

Apakah kekerasan kolonial kini kembali hadir? Atau apakah memang sejatinya kekerasan itu pernah pergi? Couperus paham benar tentang hal ini: cerita tentang pembunuhan yang ditulisnya tidak mengambil latar di Achterhoek, di belahan timur Belanda. Sebagai negara kecil, Belanda memiliki tradisi kekerasan yang paling kecil di benua Eropa, tentunya ketika dibandingkan dengan negara-negara Eropa lainnya.  Kekerasan yang dilakukannya terjadi di tempat lain, dimana ia menjadi lebih kuat dan lebih banyak menghasilkan; Belanda mengalihkan segala kekerasannya ke negara-negara jajahannya. Dari tahun 1800an sampai pada awal abad kedua puluh, angkatan darat Belanda tidak pernah luput terlibat dalam peperangan lokal atau misi menjaga perdamaian. Namun, setelah kebijakan politik etis yang diperkenalkan setelah tahun 1900, kekerasan tersebut memudar dan kerap ditutupi oleh dalih cinta tanah air. Sejarah militer tidak pernah popular di Belanda. Kini, pergeseran paradigma sedang terjadi dalam ingatan kolonial dan dalam penulis sejarah tentang daerah jajahan. Apakah ini hal yang buruk? Bukan, ini adalah sebuah pertanda kita beranjak semakin dewasa.

05-03-2019